JAKARTA — Jurnalis Senior Bambang Harymurti mengungkapkan fakta mengejutkan dari riset dan dokumen lama Bank Dunia yang menjadi dasar kebijakan global anti-tembakau. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia merugi secara ekonomi akibat industri rokok — kecuali empat negara, dan yang paling menonjol adalah Indonesia.
“Di laporan Bank Dunia tahun 1988 itu disebutkan, dampak ekonomi industri rokok lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya untuk hampir semua negara — kecuali empat. Dan yang paling tinggi manfaat ekonominya justru Indonesia,” ujar Bambang Harymurti pada Senin (3/11/2025).
Menurut Bambang, temuan ini membuat Indonesia secara sah dan rasional tidak wajib menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang digagas WHO dan didukung mayoritas negara dunia.
“Kalau dasar framework itu sendiri menyebut Indonesia pengecualian, ya logis kalau kita tidak ikut. Sudah dikasih izin oleh datanya sendiri,” katanya.
Bank Dunia mencatat, kontribusi industri rokok terhadap sektor manufaktur Indonesia mencapai 8%, menjadikannya salah satu tulang punggung industri nasional. Bambang menilai, peran ini membuat kebijakan anti-tembakau global tidak bisa diterapkan secara seragam.
“Rokok di Indonesia bukan hanya soal konsumsi, tapi soal pekerjaan, penerimaan negara, dan ekosistem ekonomi lokal. Pemerintah tugasnya bukan membunuh industri, tapi mengatur agar transisi berlangsung sehat,” ujarnya.
Menurut Bambang, dorongan global anti-rokok tidak sepenuhnya murni dari kepedulian kesehatan, melainkan juga terkait dengan kepentingan ekonomi dan politik negara donor.
“Intervensi asing itu tidak tunggal. Ada yang datang dari Amerika, Rusia, Cina — masing-masing dengan agenda berbeda,” katanya.
Ia juga menyoroti fundamentalisme kebijakan yang cenderung menolak kompromi. “Kebijakan publik seharusnya mencari keseimbangan, bukan tunduk pada dogma. Pemerintah harus menanggung semua aspirasi rakyatnya,” tegasnya.
Meski menilai Indonesia punya alasan kuat tidak menandatangani FCTC, Bambang tetap mendorong agar pemerintah menyiapkan roadmap jangka panjang bagi industri hasil tembakau — agar transformasi ekonomi bisa berjalan bertahap seperti yang pernah dilakukan pada industri tekstil dan footwear.
“Industri rokok tidak bisa bertahan dalam bentuk sekarang selamanya. Tapi perubahan harus dikelola agar tidak menimbulkan kekacauan sosial,” jelasnya.[]